Mar2010 Diposkan oleh S.Nainggolan Label: BERITA, KELUARGA
Jangan bicara terlalu keras pada anak, karena bisa-bisa anak akan merasa sangat terpukul. Nah, kalimat apa saja yang sebaiknya Anda hindari?
Seringkali, tanpa sengaja orangtua berkata keras pada anak. Padahal, kata-kata keras bisa melukai bahkan menurunkan kepercayaan diri anak. Ingin contoh? Misalnya, “Mbok kamu itu mencontoh kakakmu!” atau “Buat apa menghabiskan waktu tanpa hasil?” Kata-kata di atas bisa membuat anak terluka dan sakit luar biasa. “Kata-kata yang kita gunakan bisa dirasakan lain oleh anak, bahkan pada bayi yang baru berusia 12 bulan. Pasalnya, di usia itu, anak pun sudah mulai membangun identitasnya.
Jadi, sebelum Anda mulai mencaci-maki, sebaiknya belajar menyensor kata-kata agar tidak membawa dampak buruk pada buah hati Anda. Bahkan pada saat marah, frustasi dan kelelahan sekalipun. Pilih betul kata-kata apa yang akan Anda sampaikan dan apa yang ingin Anda capai dengan kata-kata itu. Ingat, dengan kata atau kalimat yang lebih halus, Anda tetap bisa mendapatkan apa yang Anda mau, kok. Nah, di bawah ini kata-kata yang sebaiknya tak dilontarkan kepada buah hati Anda:
1. “Kamu kenapa, sih?"
Variasi lain dari kata ini antara lain, “Bandel amat, sih kamu. Bisa enggak, sih makan tanpa membanting sesuatu.”
Komentar seperti di atas menujukkan bahwa anak punya karakter tak pernah benar. Kata-kata ini ditujukan pada diri si anak, bukan pada masalah yang dibuatnya. Mereka juga dianggap pembuat onar, tanpa mengajarkan kepada mereka untuk melakukan hal yang lebih baik. Anak dengan mudah akan merasa bersalah terhadap apa yang dilakukannya.
Pertanyaan, “Kamu kenapa, sih?" adalah pertanyaan retoris yang tak membutuhkan jawaban, karena tidak ada satu pun jawaban yang akan memuaskan. Sebaiknya, pikirkan bahwa anak melakukan sesuatu karena mereka masih anak-anak. Mereka bisa saja capek, lapar, atau hanya ingin mengetes respon Anda. Anda harus mencari tahu apa yang menyebabkannya demikian.
Cobalah mencari kata lain seperti, “Kayaknya kamu kesulitan menuangkan susu ini. Kita coba cara yang mudah, deh.” Dengan begitu, Anda memberi pesan padanya bahwa siapapun dapat melakukan kesalahan, sekaligus dapat memperbaikinya.
Anda juga bisa menunjukkan dimana kesalahan anak dan bagaimana memperbaikinya, dengan melibatkannya mengatasi masalahnya. Katakan padanya, “Bahaya bermain dengan vas ini, soalnya vas ini terbuat dari kristal. Jika pecah, kamu bisa terluka. Menurut kamu, barang apa, ya yang aman untuk bermain?"
2. “Kamu melakukan hal yang tak berguna.”
Kata-kata ini sama saja dengan kalimat, “Buat apa kamu sedih? Sudahlah, enggak ada gunanya.”
Pernyataan ini menunjukkan sikap tak berempati dan langsung meneror harga diri anak. Bagi anak 3 tahun yang kehilangan balon karena meletus, atau anak 7 tahun yang stres saat mengikuti pertandingan olahraga, musibah kecil bisa menjadi tragedi. Kata-kata adalah ekspresi minimal tentang perasaannya. Anak-anak bisa belajar emosi dan persepi dari kata-kata yang dilontarkan padanya.
Jika balon anak meletus, sebaiknya katakan, “Wah, balon kamu meletus. Bagaimana, ya?” Lalu alihkan perhatiannya pada hal lain. Atau coba katakan, “Ibu tahu kamu sangat kesal. Ibu tahu kamu sudah berusaha. Ibu juga ikut menyesal.” Beri jeda sedikit sebelum menambahkan kata-kata lain, seperti, “Kamu tahu, kan, begitulah sebuah pertandingan. Kadang kita menang, ada saatnya kita kalah. Tapi, kamu bisa melakukan lebih baik lagi nanti. Siapa tahu, kamu nanti jadi pemenangnya.” Kata-kata ini menunjukkan betapa Anda memperhatikan dan membantu mereka mengambil hikmah.
3. “Kenapa, sih kamu enggak bisa lebih baik!”
Ini sama saja dengan kalimat, “Kakakmu anak yang baik. Masa, kamu enggak bisa mendengarkan nasihat Ibu seperti dia?”
Kalimat ini menyakitkan, karena sebetulnya tak seorang pun yang mau dibandingkan. Anak 4 tahun mulai membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain. Tanpa dicaci-maki, sebetulnya anak tahu siapa yang larinya lebih cepat atau siapa yang akan mendapat ranking atas di kelasnya. Saat Anda mengatakan ia tidak bisa menyanyi sebaik temannya, bisa dipastikan ia akan merasa kehilangan harapan dan tak mau berusaha. Anda hanya akan membuat mereka antipati, bukan menyemangatinya melakukan yang lebih baik.
Begitupun saat Anda membuat perbandingan bahwa kemampuannya sama dengan yang lain, seperti, “Kamu menggambar sebaik Kakakmu.” Itu membuat dia merasa bahwa kakak kandungnya adalah saingannya. Anak-anak sebetulnya sudah tahu siapa saja saingannya, tanpa perlu ditegaskan lagi. Rasanya, orangtua tak ingin memiliki anak yang terlalu ambisius, kan? Maka, jangan jadikan hidupnya semata sebagai pertandingan yang selamanya harus berpayah-payah dan penuh ketegangan karena harus bersaing.
4. “Makanlah satu suap lagi untuk Mama.”
Ini sama kalau Anda bilang, “ Saya sudah mengerjakan seluruhnya demi kamu, ayolah....” atau “Tidak ada orang yang mencintai kamu lebih dari aku.”
Kalimat ini menimbulkan rasa bersalah, dan rasa bersalah ini akan merembet menjadi kegelisahan, ketakutan, kemarahan, atau bahkan dendam. Semua ini membuat anak tak bisa berpikir tenang dan rasional tentang situasi yang terjadi. Sekali saja anak merasakan ketidakhangatan dalam pengasuhan, maka sulit baginya untuk merasa bahagia. Lain kali, lebih baik katakan, “Masih mau sesuap lagi?” Dengan begitu, Anda sudah mengajarkan padanya untuk mengambil keputusan dan mengenali sinyal tubuhnya, apakah ia sudah kenyang atau belum, kemudian meresponnya.
Atau, untuk anak usia 8 tahun misalnya, biarkan ia memutuskan sendiri apakah akan melanjutkan kegiatannya, semisal ikut klub bola, dengan pertimbangan mana yang akan membuat dirinya dan tim puas. Dengan begitu, ia bisa bangga terhadap dirinya, tahu apa yang bisa dikerjakannya, dan belajar betapa pentingnya menyenangkan hati orang.
5. “Kamu selalu merepotkan.”
Kata yang sepadan dengan pernyataan ini misalnya, “Kamu tak pernah mendengar perkataan Mama.” Atau “Kamu selalu membuat Mama telat ke kantor.”
Ingat, melakukan generalisasi dengan menggunakan kata "selalu" atau "tak pernah" merupakan hal yang tidak mengacu pada keakuratan dan kadang-kadang terasa berlebihan. Generalisasi negatif membuat anak merasa kalah, gagal dan tersia-sia. Lebih baik katakan, “Kamu putus asa dan menyerah.” Anak akan mengerti apa yang Anda katakan dan membiarkan situasi itu berlangsung, atau ia malah balik tertantang untuk membuktikan bahwa ia tidak putus ada dan masih bisa berusaha.
Generalisasi juga seperti memperlihatkan seolah-olah ia menjadi kambing hitam atas kesalahan Anda. Sebaiknya, berintropeksi, apakah Anda terlambat pergi ke kantor karena dia atau karena tak bisa mengatur waktu? Lain kali, lebih baik beritahu anak apa yang Anda rasakan. Misalnya, "Kalau kamu berkata kasar pada Mama, Mama jadi sedih, lho.” Atau, “Mama marah, nih kalau kamu belum juga membenahi mainan kamu.” Dengan begitu, Anda lebih memberi fokus pada apa yang terjadi sekarang dan apa yang bisa ia lakukan untuk memperbaikinya. Jangan mengawali perkataan dengan kata "kamu." Misalnya, “Kamu enggak pernah mau membersihkan kakimu.” Karena itu berarti, Anda memprovokasi permusuhan dengannya.
6. “Mama sudah berkali-kali bilang, tapi kamu tak pernah melakukannya.”
Ini sama saja dengan bilang, “Mama sudah mengatakan itu jutaan kali.” Anak tahu, kok sudah berapa kali ia melakukan kesalahan. Jadi, jangan terlalu berlebihan. Kalau Anda mengatakan kalimat seperti di atas, ia jadi merasa bodoh dan tidak mampu berkembang. Dengan begitu, ia juga tidak dapat menghargai dirinya bahwa ia bisa dewasa, sehingga ia punya alasan untuk melakukan apa yang ia inginkan. Wong, dia belum dewasa, kok.
Adakalanya anak ingin bereksperimen, mandiri, dan mencoba sesuatu yang baru. Kalau Anda menghinanya, penghinaan Anda akan membuatnya marah. Ini akan membuatnya malu terhadap apa yang terjadi. Mengatakan, “Tuh, Mama bilang juga apa?” menunjukan bahwa Anda tidak percaya bahwa ia bisa melakukan yang lebih baik.
Lain kali, katakan, “Kamu melakukannya dengan caramu dan akhirnya tak berhasil. Mama tahu apa yang kamu rasakan. Kamu butuh bantuan? Siapa tahu kalau dikerjakan berdua, kita bisa tahu dimana kesalahannya.” Biarkan dia lebih realistis dan katakan tepat pada sasaran.
Kadang-kadang, kita tidak tahu apa yang ia harapkan dari apa yang dilakukannya. Misalnya, anak usia 4 tahun yang menepuk-nepuk lampu terlalu keras untuk membersihkannya. Sebetulnya, ia ingin menyenangkan Anda, tetapi tidak tahu bagaimana cara mengerjakannya. Atau anak 9 tahun yang gagal di ujian terakhirnya lantaran terlalu sibuk mempersiapkan ujian itu selama seminggu penuh. Ia membeli pinsil sendiri, mencari bahan yang harus dibacanya, ditambah masih harus ikutan resital piano.
Jika Anda berkata kasar terus pada anak, maka ucapan Anda mungkin tak akan membuahkan hasil. Malah Anda yang kebingungan, bagaimana membuatnya dekat kembali pada Anda.
7. “Kamu sembrono amat, sih.”
Kalimat lainnya, “ Lihat, deh. Dia mengotori lantai lagi dengan tapak kakinya.”
Kata-kata ini menyakitkan karena memberi anak label sebagai si sembrono, si pemalas, si cengeng dan lainnya, yang membuatnya berpikir bahwa begitulah ia ditakdirkan. Ia merasa menjadi anak yang menyebalkan dan harus dimusuhi. Dengan memberinya “label istimewa” begitu, Anda seperti menilai siapa dirinya dan akan jadi apa dia nantinya. Kalau kata-kata itu terus diucapkan, ia akan percaya bahwa ia memang demikian dan ia tak sanggup untuk mengubahnya. Oh ya, jangan pernah mengatakan hal tersebut di depan orang lain. Ia akan merasa sangat terhina.
Lebih baik katakan dengan tegas apa yang Anda maksud. “Ruangan ini berantakan sekali. Lekas, benahi krayon kamu, ya.” Atau kata yang lebih sederhana. “Ayo benahi krayonmu.”
Anda bisa memberikan perhatian pada anak dengan mendeskripsikan seperti apa dia pada dirinya dan orang lain, dengan memberi nama-nama istimewa yang manis. Memberi nama yang jelek akan diartikan banyak oleh anak dan orang lain. Misalnya si Cengeng bisa berarti ia anak yang sensitif dan suka cari perhatian. Si Liar berarti ia anak yang tak pernah merasa takut dan enerjik. Si Malas artinya kalem dan seenaknya.
Jadi, jika suatu hari Anda tengah stres dan marah, dan keceplosan mengucapkan kata-kata kasar, Anda harus merasa menyesal. Tetapi tak usah sampai terpuruk. Sesekali berkata-kata di luar kontrol masih wajar. Toh Anda manusia yang kadang berbuat salah. Yang terpenting Anda dapat memetik hikmah, kenapa Anda mengatakan itu dan apa sebetulnya yang Anda mau. Segeralah minta maaf pada anak. “Maafkan Mama, ya. Mama tidak bermaksud mengatakan itu, kok. Perasaan Mama sedang tak enak hari ini.” Dengan begitu, Anda mengajari anak bahwa setiap orang bisa melakukan kesalahan dan ia pun bisa memperbaiki dengan melakukan hal yang lebih baik.
JANGAN MENCELA DIRI SENDIRI
Menceritakan diri Anda kadang bisa membuatnya terluka. Berikut beberapa kata yang bisa mempengaruhinya.
1. Jangan pernah berkata: “Saya gemuk sekali, ya.” Atau “Saya enggak pernah benar.” Atau “Saya tidak bisa memasak.”
Kata-kata ini akan diserap anak. Dia akan menilai perilaku Anda dan apa yang Anda yakini. Saat Anda menilai diri Anda, ia belajar menilai dirinya dengan hal-hal negatif. Lebih baik katakan sesuai situasi yang terjadi. Misalnya, “Kalau Mama pakai baju ini, rasanya Mama harus sering berolahraga.”
2. Jangan katakan, “Kenapa aku selalu ditimpa bencana kayak begini?” atau “Aku enggak pernah beruntung.”
Kata-kata ini memperlihatkan siapa Anda dan mengajarkan bahwa Anda tidak berdaya dan tidak optimis. Bisa jadi anak akan merasa seperti itu juga. Lebih baik katakan apa yang terjadi dan perlihatkan bahwa Anda bisa mengatasinya dengan gemilang. Misalnya, “Sebal juga kalau mobil mogok dua hari. Tapi enggak usah bingung, kita bisa tetap jalan-jalan tanpa mobil itu, kan.”
3. Jangan pernah bilang, “Mama menyesal sekali memotong rambut. Ini tataan rambut paling jelek seumur hidupku.”
Reaksi yang terlalu berlebihan akan mengajarkan pada anak bahwa hal kecil bisa jadi masalah besar. Lebih baik Anda berterus terang dan jangan sembunyikan perasaan Anda. Dengan begitu, anak akan belajar bahwa tak semua hal berjalan sesuai harapan. Jika tak ingin terus menerus kecewa atau marah, dia harus mencari jalan lain. Jadi, jika Anda kecewa dengan tata rambut baru Anda, lebih baik katakan, “Mama kecewa karena potongan rambut baru ini tidak sesuai. Tapi gel mungkin bisa sedikit membantu.” [nostalgia.tabloidnova.com]